Sabtu, 07 Juni 2014

Tiga Alasan Mengapa JK-Win Kalah pada Pilpres 2009

Pilpres 2009 sudah usai kemarin, dan hasilnya sudah dapat diketahui oleh publik pukul 2 siang hari itu juga. Berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) pasangan SBY-Boediono unggul mutlak dengan persentase suara sekitar 60%, sementara JK-Win hanya sekitar 12% dan Mega-Pro 26%. Menurut pengalaman yang sudah-sudah, hasil hitung cepat tidak jauh berbeda dengan hasil sebenarnya. Hasil Pilpres ini sebetulnya tidak mengejutkan karena jauh-jauh hari SBY sudah diperkirakan akan menang.
Beberapa hari sebelum Pilpres, beberapa lembaga survey memperkirakan Pilpres akan berlangsung 2 putaran mengingat elektabiliats SBY yang terus merosot dan JK yang terus naik, dan yang akan maju ke putaran kedua adalah SBY-Boediono dan JK-Win. Namun keyataannya, Pilpres 2009 cukup 1 putaran saja karena raihan suara SBY sudah di atas 50% dan jumlah provinsi dengan kemenangan di atas 50% itu sudah melebihi 20 provinsi. Jadi, tanpa mendahului takdir, di atas kertas sudah dapat dipastikan SBY akan menjadi presiden lagi.
Pada Pilpres 2009 kemaren, saya memilih JK-Win. Sederhana saja alasan saya mengapa memilih JK-Win, karena pasangan ini terlihat agamis, dan saya termasuk orang yang sejak dulu mudah berempati pada orang yang memperlihatkan perilaku shaleh yang tidak dibuat-buat. Bukan berarti pasangan lain tidak shaleh atau agamis, tetapi yang terlihat nyata ya JK-Win itu. Selain itu ada beberapa alasan pelengkap penderita, yakni karena JK-Win adalah pasangan yang merepresentasikan luar Jawa dan Jawa, kinerja JK selama menjadi Wapres yang lebih banyak memiliki peran dibandingkan SBY, dan kepribadian JK dan Wiranto yang menurut saya patut menjadi teladan. Acara debat capres di televisi memperlihatkan sosok JK yang begitu inspiratif bagi orang-orang yang bosan dengan carut marut dunia perpolitikan Indonesia.
Sayang, JK-Win kalah dan harapan mereka untuk ke putaran kedua tampaknya mustahil, bahkan raihan suaranya sangat kecil, padahal hasil survey memperlihatkan setidaknya JK-Win dapatlah sekitar 30%, eh tidak tahunya hanya sekitar 12%. Padahal, JK-Win didukung oleh banyak ormas Islam besar seperti NU, Muhammadiyah, dan Persis, tetapi dukungan itu hanya sebatas elit ormas itu saja, sementara massa akar rumput mereka mempunyai pilihan berbeda dengan elitnya. Mungkin karena dukungan ormas-ormas itulah maka JK-Win percaya diri bisa melenggang ke putaran kedua.
Menurut analisis saya, ada tiga alasan mengapa JK-Win kalah dan SBY-Boediono menang (Mega-Parabowo tidak saya bahas karena diluar kriteria saya):
1. Popularitas SBY memang jauh melebihi JK. Pemilihan terbuka seperti Pilpres dan Pilkada membuat pemilih bebas menetapkan kriteria memilih berdasarkan apa saja yang mereka sukai, tetapi pengalaman menunjukkan bahwa yang lebih populer dan diingat dalam benak orang maka itulah yang akan dipilih. Bagi rakyat di desa-desa yang jauh dari pusat informasi, media massa, terutama televisi, punya peranan penting mendongkrak popularitas. Karena SBY presiden, maka wajahnya yang paling sering masuk TV dan terekam dalam memori rakyat kecil, ketimbang capres-cawapres lain. Iklan-iklannya yang banyak berseliweran di TV, termasuk ‘pembajakan’ jingle Indomie, terekam dalam memori banyak orang. JK sebenarnya juga populer, tetapi karena dia wapres, maka rakyat melihat bahwa posisi dia adalah orang nomor dua, yang mengambil keputusan adalah presiden, bukan wapres.
2. Popularitas saja belum cukup, harus ditunjang dengan rekam jejak (track record) yang baik. Nah, SBY banyak meninggalkan rekam jejak yang baik dan hal ini diingat dalam memori pemilih. Selama dia memimpin cukup banyak kebijakan dia (bersama JK tentu) yang dianggap kondusif bagi rakyat, seperti program BLT, sekolah gratis, pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS, program ekonomi mandiri, pengalaman dalam birokrasi, memberikan rasa aman, dan lain-lain. Sebenarnya JK juga punya andil di situ, tetapi namanya tenggelam oleh SBY.
3. Popularitas dan rekam jejak dibantu oleh faktor pendukung, yaitu figur (kepribadian). SBY dikesankan sebagai orang yang beriwibawa, tenang, dan gagah, sementara JK dikesankan sebagai sosok agresif dan suka menyerang. Sebenarnya JK bagus dalam hal berdebat, tetapi rakyat Indonesia tampaknya lebih menginginkan pemimpin yang tenang dan beriwibawa, bukan yang jago berdebat. JK kalah penampilan dibandingkan SBY.

Yah, itulah tiga alasan mengapa JK-Win bisa kalah. Kampanye, debat capres, iklan, asal usul daerah, istri berjilbab, dan lain-lain ternnyata tidak mempunyai pengaruh signifikan dalam merebut simpati. JK-Win hanya menang di Sulsel dan Sultra, dua provinsi yang secara kultural mempunyai kedekatan emosional dengan JK. Kemenangan mutlak JK-Win di dua provinsi ini membuktikan bahwa ucapan Andi Mallarangeng yang rasialis kepada etnis Bugis dan Makassar memang mempunyai pengaruh signifikan menurunkan suara SBY di Sulawesi, tetapi hal itu ternyata tidak terjadi di provinsi lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar