Selasa, 18 Maret 2014

Krisis Politik di Ukraina

Tensi politik di Republik Ukraina saat ini memang tidak sepanas awal Desember 2013, saat lebih dari 100 ribu pendukung oposisi mulai turun ke jalan di ibu kota, Kiev, memprotes ketidakmauan pemerintah Viktor Yanukovich menandatangani pakta kerja sama ekonomi dengan Uni Eropa. Namun republic terbesar pecahan Uni Soviet itu masih belum lepas dari jerat krisis politik. Dua kubu bersebrangan, pemerintah versus oposisi, yang didukung massa masing-masing masih saling berhadapan.
            Setelah ribuan pendukung oposisi bertahan di sekitar gedung Verkhovna Rasa dan Maidan Nezaleshnosti, tanggal 13 Desember lalu Presiden Yanukovich mengerahkan ribuan pendukung ke Kiev. Mereka dikerahkan dari wilayah selatan dan timur Ukraina yang berbatasan dengan Rusia. Sejauh ini belum ada kepastian dua kubu bisa mencapai kompromi. Ambisi apa dibalik politik rusia tersebut ?
Krisis ukraina terjadi karena keputusan pemerintahan Yanukovich menolak menandatangani Deep and Comperhensive Free Trade Agreement (DCTA) dengan UE, yang ditentang keras kubu oposisi. Tetapi pasti akar masalahnya tidak sesederhana itu. Masalah dalam negeri muncul lebih serius terutama sejak ekonomi Ukraina terimbas krisis finansial global tahun 2008. Produk besi yang menjadi andalan ekspor tidak terjual.
            Situasinya menjadi lebih sulit karenasektor pariwisata tang sesungguhnya sangat potensial dibangun menjadi sumber devisa alternative tidak digarap sebagaimana mestinya. Selain itu, Rusia konsisten dengan kebijakan mengurangi peran ukraina sebagai Negara transit bagi ekspor gasnya ke Eropa Barat. Sebelum terjadi Revolusi Orange 2004 gas Rusia yang transit di ukraina sebelum dieksport ke Negara-negara Eropa Barat, seperti Jerman dan Belgia, mencapai 120 miliar m3 pertahun. Awalnya kalangan analis menilai Rusia mengurangi peran Ukraina paska Revolusi Oranye adalah Presiden Yushchenko, yang Pro-Barat, menyusul kemenangan dalam pemilihan umum ulang 2005.


Motiv Ekonomi
            Yulia Tymoshenko dan Yushchenko mengerahkan ribuan pendukungnya memprotes hasil pemilu 2004 yang dimenangi Yanukovich, yang dianggap tidak fair. Aksi protes berlangsung dari 22 November 2004 yang dimenangi Yanukovich, yang dianggapnya tidak fair. Aksi protes berlangsung di 22 November 2004 sampai 23 Januari 2005. Dalam pemilu ulang 2005 itu Yushenko mengalahkan Viktor Yanukhovic yang pro-moscow.
            Lantas, mengapa Rusia tampak tidak rela ketika Ukraina hendak menandatangani DCTA dalam pertemuan puncak UE di Vilnius Lithuania pada 23 November lalu? Terbukti pada saat-saat akhir pertemuan UE, Presiden Rusia Vladimir Putin menekan Presiden Viktor Yanukovich supaya tidak meneken pakta tersebut. Penandatanganan DCTA menjadi langkah awal untuk bergabung dalam UE. Jika Ukraina berintegrasi ke dalam UE, buyarlah harapan Kremlin membentuk sejumlah pakta kerja sama regional, semisal Custom Union, Collective Security Treaty Organization (CSTO), dan Eurasia Union, yang semuanya menyertakan Ukraina. Untuk Uni Eurasia, Moskow telah memplot Ukraina bersama Kazakstan dan Belarusia (di samping Rusia) sebagai anggota. Ke depan, Uni Eurasia dimaksudkan guna menyaingi UE.
            Ukraina memiliki arti strategis bagi Rusia, baik dari segi geoekonomi maupun geopolitik-keamanan. Ukraina menyerap 58% dari keseluruhan ekspor gas Rusia tiap tahun. Secara politik keamanan, Ukraina bisa dijadikan negara penyangga bagi keamanan Rusia. Karenanya, Rusia merugi besar andai bekas jajahannya sampai jatuh ke pangkuan UE. Jelaslah di balik krisis Ukraina terjadi rivalitas sengit antara Rusia dan UE untuk memperebutkan negeri berluas wilayah 603.700 km2 supaya masuk rangkulannya demi meraih keuntungan ekonomi sekaligus politik.




Nama : Fajar Maulana Sidik
NPM : 17111809

Kelas : 3ka03

Tidak ada komentar:

Posting Komentar