Tensi politik di Republik Ukraina saat ini memang
tidak sepanas awal Desember 2013, saat lebih dari 100 ribu pendukung oposisi
mulai turun ke jalan di ibu kota, Kiev, memprotes ketidakmauan pemerintah
Viktor Yanukovich menandatangani pakta kerja sama ekonomi dengan Uni Eropa.
Namun republic terbesar pecahan Uni Soviet itu masih belum lepas dari jerat
krisis politik. Dua kubu bersebrangan, pemerintah versus oposisi, yang didukung
massa masing-masing masih saling berhadapan.
Setelah
ribuan pendukung oposisi bertahan di sekitar gedung Verkhovna Rasa dan Maidan
Nezaleshnosti, tanggal 13 Desember lalu Presiden Yanukovich mengerahkan ribuan
pendukung ke Kiev. Mereka dikerahkan dari wilayah selatan dan timur Ukraina
yang berbatasan dengan Rusia. Sejauh ini belum ada kepastian dua kubu bisa mencapai
kompromi. Ambisi apa dibalik politik rusia tersebut ?
Krisis ukraina terjadi
karena keputusan pemerintahan Yanukovich menolak menandatangani Deep and
Comperhensive Free Trade Agreement (DCTA) dengan UE, yang ditentang keras kubu
oposisi. Tetapi pasti akar masalahnya tidak sesederhana itu. Masalah dalam
negeri muncul lebih serius terutama sejak ekonomi Ukraina terimbas krisis
finansial global tahun 2008. Produk besi yang menjadi andalan ekspor tidak
terjual.
Situasinya
menjadi lebih sulit karenasektor pariwisata tang sesungguhnya sangat potensial
dibangun menjadi sumber devisa alternative tidak digarap sebagaimana mestinya.
Selain itu, Rusia konsisten dengan kebijakan mengurangi peran ukraina sebagai
Negara transit bagi ekspor gasnya ke Eropa Barat. Sebelum terjadi Revolusi
Orange 2004 gas Rusia yang transit di ukraina sebelum dieksport ke
Negara-negara Eropa Barat, seperti Jerman dan Belgia, mencapai 120 miliar m3
pertahun. Awalnya kalangan analis menilai Rusia mengurangi peran Ukraina paska
Revolusi Oranye adalah Presiden Yushchenko, yang Pro-Barat, menyusul kemenangan
dalam pemilihan umum ulang 2005.
Motiv
Ekonomi
Yulia Tymoshenko
dan Yushchenko mengerahkan ribuan pendukungnya memprotes hasil pemilu 2004 yang
dimenangi Yanukovich, yang dianggap tidak fair. Aksi protes berlangsung dari 22
November 2004 yang dimenangi Yanukovich, yang dianggapnya tidak fair. Aksi
protes berlangsung di 22 November 2004 sampai 23 Januari 2005. Dalam pemilu ulang
2005 itu Yushenko mengalahkan Viktor Yanukhovic yang pro-moscow.
Lantas,
mengapa Rusia tampak tidak rela ketika Ukraina hendak menandatangani DCTA dalam
pertemuan puncak UE di Vilnius Lithuania pada 23 November lalu? Terbukti pada
saat-saat akhir pertemuan UE, Presiden Rusia Vladimir Putin menekan Presiden
Viktor Yanukovich supaya tidak meneken pakta tersebut. Penandatanganan DCTA menjadi
langkah awal untuk bergabung dalam UE. Jika Ukraina berintegrasi ke dalam UE,
buyarlah harapan Kremlin membentuk sejumlah pakta kerja sama regional,
semisal Custom Union, Collective Security Treaty Organization (CSTO),
dan Eurasia Union, yang semuanya menyertakan Ukraina. Untuk Uni Eurasia,
Moskow telah memplot Ukraina bersama Kazakstan dan Belarusia (di samping Rusia)
sebagai anggota. Ke depan, Uni Eurasia dimaksudkan guna menyaingi UE.
Ukraina
memiliki arti strategis bagi Rusia, baik dari segi geoekonomi maupun
geopolitik-keamanan. Ukraina menyerap 58% dari keseluruhan ekspor gas Rusia
tiap tahun. Secara politik keamanan, Ukraina bisa dijadikan negara penyangga
bagi keamanan Rusia. Karenanya, Rusia merugi besar andai bekas jajahannya
sampai jatuh ke pangkuan UE. Jelaslah di balik krisis Ukraina terjadi rivalitas
sengit antara Rusia dan UE untuk memperebutkan negeri berluas wilayah 603.700
km2 supaya masuk rangkulannya demi meraih keuntungan ekonomi sekaligus politik.
Nama : Fajar
Maulana Sidik
NPM : 17111809
Kelas : 3ka03